Industri asuransi di Indonesia semakin berkembang pesat. Masyarakat dengan mudah menemukan beragam perusahaan asuransi dengan layanan dan produk asuransi yang ditawarkan. Tidak hanya perusahaan asuransi konvensional, asuransi syariah turut berkembang di era modern dan memiliki banyak pengguna. Sebelum mengetahui lebih jauh seputar asuransi, pastikan Anda memahami pengertian hukum asuransi serta dasar-dasar hukum yang mengatur asuransi konvensional dan syariah.
Pengertian asuransi menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah perjanjian antara perusahaan asuransi dan pemegang polis. Perjanjian tersebut kemudian menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk memberikan penggantian kepada pemegang polis atau tertanggung karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti.
Semua persoalan mengenai asuransi dapat diselesaikan secara hukum. Hukum asuransi adalah aturan tertulis maupun tidak tertulis yang mengikat tertanggung (peserta asuransi) dan perusahaan asuransi untuk menaati perjanjian yang telah disepakati. Singkatnya, hukum asuransi mengatur apa saja yang menjadi hak dan kewajiban tertanggung maupun perusahaan asuransi.
Adapun kewajiban tertanggung adalah membayar premi secara teratur sesuai dengan kesepakatan awal. Sementara kewajiban perusahaan adalah memberikan penggantian kerugian atas risiko yang dialami peserta. Dengan catatan, tertanggung sudah menunaikan kewajiban sesuai yang ditetapkan. Jadi, bila peserta tidak memenuhi persyaratan dan kewajiban yang sudah ditentukan, maka perusahaan berhak untuk menolak klaim yang diajukan oleh peserta.
Dengan adanya hukum asuransi, jika sewaktu-waktu terjadi persoalan di antara kedua pihak, maka keduanya dapat menyelesaikan persoalan tersebut secara hukum berdasarkan bukti-bukti yang ada.
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan peraturan mengenai asuransi. Aturan asuransi yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU Perasuransian).
Dalam pasal 1 disebutkan bahwa asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
Selain itu, terdapat hukum dasar asuransi lainnya yang telah tercantum dalam Undang-Undang, seperti:
1. KUHP Pasal 1320 dan Pasal 1774
Dalam membuat perjanjian, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi agar perjanjian tersebut dapat berjalan dengan baik.
Hal ini dinyatakan secara hukum dan diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata bahwa perjanjian dikatakan sah apabila terdapat empat syarat, yakni kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu ikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang tidak terlarang.
Perjanjian asuransi secara konvensional diatur dalam Pasal 1774 KUH Perdata yang memasukkan asuransi sebagai perjanjian untung-untungan yang disamakan dengan perjudian (spekulasi).
2. KUHD BAB 9 Pasal 246
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Bab 9 Pasal 246 menjelaskan tentang jenis pertanggungan asuransi, batas maksimal pertanggungan, penyebab batalnya proses pertanggungan, proses klaim yang berlaku, hingga pertanggungan disusun secara tertulis dalam dokumen polis.
3. PP No. 63 Tahun 1999
Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 merupakan revisi dari PP Nomor 7 Tahun 1992. Pada dasarnya tujuan yang dimuat memiliki kesamaan dengan peraturan sebelumnya, yakni penyelenggaraan usaha perasuransian.
Hal ini mencakup ketentuan penyelenggaraan usaha perasuransian dalam rangka mendorong pembangunan bangsa dengan menerapkan prinsip usaha yang sehat dan bertanggung jawab.
Pada dasarnya, asuransi merupakan upaya untuk menanggulangi risiko yang dapat terjadi di kemudian hari. Adapun yang membedakan asuransi syariah dengan konvensional adalah perbedaan prinsip dalam pengelolaan risiko.
Prinsip asuransi syariah adalah berbagi risiko (risk sharing), yakni risiko yang ditanggung oleh sesama peserta asuransi. Hal tersebut berbeda jauh dengan prinsip perusahaan asuransi konvensional yang menerapkan kontrak jual-beli.
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) memaknai asuransi syariah sebagai kegiatan tolong menolong dan melindungi di antara sejumlah pihak. Secara umum, sumber hukum asuransi syariah berpedoman pada syariat Islam, seperti Al-Qur'an, sunnah, ijma', fatwa sahabat, qiyas, serta fatwa MUI.
Dalam fatwa DSN-MUI Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Asuransi Syariah, asuransi dilakukan melalui akad (perikatan) yang sesuai syariah. Adapun akad yang dimaksud adalah tidak mengandung penipuan, perjudian, riba, penganiayaan, suap, barang haram, dan maksiat.
Fatwa ini didasarkan pada Firman Allah SWT dalam mempersiapkan hari depan sebagaimana yang tertuang dalam QS. al-Hasyr ayat 18:
“Hai orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dibuat untuk hari esok (masa depan). Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Firman Allah tentang prinsip-prinsip bermu’amalah, baik yang harus dilaksanakan maupun dihindarkan juga menjadi unsur utama fatwa mengenai asuransi. Seperti yang tertuang dalam Surah Al-Maidah ayat 90 yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.
Sesuai dengan pemaparan sebelumnya, asuransi dalam hukum islam adalah usaha untuk saling tolong menolong. Hal ini sesuai dengan Surah Al-Maidah ayat 2:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah SWT, sesungguhnya Allah SWT amat berat siksa-Nya”.
Adapun hadis-hadis Nabi yang juga menjadi faktor utama fatwa perasuransian adalah sebagai berikut:
“Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah SWT akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat, dan Allah SWT senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
“Rasulullah SAW melarang jual beli yang mengandung gharar” (HR. Muslim, Tirmizi, Nasa’i, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
“Seorang mu’min dengan mu’min yang lain ibarat sebuah bangunan, satu bagian menguatkan bagian yang lain” (HR Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari).
“Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf).
Sama seperti konvensional, asuransi syariah di Indonesia juga memiliki beragam jenis produk, mulai dari asuransi kesehatan, jiwa, kecelakaan, kendaraan, dan sebagainya. Selain Otoritas Jasa Keuangan, asuransi syariah juga diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah guna memastikan konsep syariah berjalan sesuai dengan kaidah Islam.
***
Tingkatkan perlindungan diri Anda dengan Asuransi Mega Comforta dari PFI Mega Life. Produk asuransi ini memberikan manfaat asuransi berupa perlindungan dari meninggal dunia akibat suatu penyakit atau kecelakaan, dan terdiagnosa pertama kali salah satu dari 10 penyakit kritis. Adapun manfaat santunan yang diberikan hingga 500% uang pertanggungan sesuai dengan polis yang dipilih.
PT PFI Mega Life Insurance terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK)